Pendahuluan

“Hotline Paris”, sebuah konsep bantuan hukum online gratis yang diusulkan oleh Anies Baswedan dalam debat Capres-Cawapres 2024, menjanjikan perubahan signifikan dalam pemberian layanan hukum di Indonesia. Namun, ide ini membawa serangkaian tantangan yang harus dihadapi dan diatasi.

Akses Internet yang Tidak Merata

Pertama dan utama, akses internet yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia merupakan tantangan besar. Meskipun tingkat penetrasi internet telah meningkat, disparitas geografis, khususnya di daerah timur yang kurang urbanisasi, masih menjadi hambatan​​. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana program ‘Hotline Paris’ akan menjangkau semua segmen masyarakat, terutama di daerah terpencil.

Sebaran Jumlah Advokat yang Tidak Merata

Kedua, distribusi advokat yang tidak merata di Indonesia menambah kompleksitas program. Dengan perbedaan rasio advokat per penduduk yang cukup signifikan di berbagai provinsi​​, memastikan akses bantuan hukum yang merata menjadi tantangan tersendiri.

Aksesibilitas dan Kesederhanaan

Selanjutnya, aspek aksesibilitas dan kesederhanaan sistem ‘Hotline Paris’ perlu diperhatikan. Bagaimana cara memastikan bahwa sistem ini mudah diakses dan digunakan oleh masyarakat luas, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan dalam kecakapan teknologi, merupakan salah satu kunci keberhasilan program.

Kualitas Bantuan Hukum

Pertanyaan tentang kualitas bantuan hukum yang akan diberikan juga menjadi penting. Apakah layanan yang diberikan melalui hotline ini akan setara dengan konsultasi hukum yang dilakukan secara langsung? Standar kualitas harus dijaga agar program ini efektif dan dapat dipercaya.

Biaya dan Pendanaan

Biaya dan pendanaan program ini juga perlu diperhatikan. Bagaimana program ini akan dibiayai dan apakah akan ada biaya tambahan bagi pengguna layanan ini? Pembiayaan yang efisien dan transparan akan menentukan keberlanjutan program ini.

Responsivitas dan Efektivitas

Terakhir, responsivitas dan efektivitas pemerintah dalam menangani laporan atau permintaan bantuan hukum melalui hotline ini perlu dipertimbangkan. Bagaimana pemerintah menjamin setiap permintaan ditangani dengan responsif dan efektif akan menjadi tolak ukur keberhasilan ‘Hotline Paris’.

Kolaborasi dengan Organisasi Advokat

Sebagai tambahan, pentingnya kolaborasi dengan organisasi advokat yang sudah beroperasi di Indonesia tidak bisa diabaikan. Kolaborasi ini bisa meliputi:

  • Integrasi Sumber Daya: Mengintegrasikan sumber daya dan keahlian dari organisasi advokat yang ada untuk meningkatkan cakupan dan efektivitas ‘Hotline Paris’.
  • Pembagian Pengetahuan dan Pengalaman: Memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh advokat yang telah berpraktik untuk mengatasi tantangan spesifik dalam penerapan hukum di Indonesia.
  • Pelatihan dan Pengembangan: Bekerjasama dalam pelatihan advokat muda, khususnya dalam memberikan bantuan hukum melalui platform digital, untuk memastikan bahwa layanan yang diberikan adalah terkini dan relevan.
  • Ekspansi Jangkauan Layanan: Menggunakan jaringan organisasi advokat untuk memperluas jangkauan ‘Hotline Paris’, terutama di daerah yang advokatnya sedikit.
  • Feedback dan Evaluasi: Membangun sistem feedback dan evaluasi bersama dengan organisasi advokat untuk terus meningkatkan kualitas layanan.

Kesimpulan

‘Hotline Paris’ membawa harapan baru dalam layanan hukum di Indonesia, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana tantangan-tantangan ini diatasi, termasuk melalui kolaborasi yang kuat dengan organisasi advokat di seluruh Indonesia. Dengan pendekatan yang komprehensif dan inovatif, inisiatif ini dapat menciptakan perubahan positif dalam sistem hukum dan pemerintahan Indonesia.

Kamu tahu ngga kalau kita semua, termasuk kamu memiliki hak konstitusi?. Hak konstitusi yang dimaksud disini adalah hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945. Kenapa sih hak asasi manusia itu perlu dijamin di dalam konstitusi? Karena sebagai negara hukum, tentunya Indonesia harus menjamin hak asasi manusia warga negaranya dalam konstitusi yang merupakan hukum dasar penyelenggaraan negara, dalam hal ini yaitu UUD NRI Tahun 1945.

Saat kamu merasa hak konstitusionalmu dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, kamu bisa mengajukan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi atau sebutan lainnya, Judicial Review. MK disini berperan sebagai mekanisme kontrol terhadap setiap produk perundang-undangan khususnya yang bertentangan dengan tujuan negara kesejahteraan yaitu memajukan kesejahteraan umum. Tapi fyi, alasan judicial review juga bukan hanya itu saja, pembentukan undang-undang yang dianggap tidak memenuhi ketentuan UUD NRI Tahun 1945 dan lembaga negara yang kewenangannya dijamin di konstitusi yang merasa kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang juga dapat mengajukan permohonan judicial review.

Lalu pertanyaan yang muncul adalah, gimana sih judicial review itu? Jadi begini, undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dapat diajukan uji materiil baik itu mengenai materi muatan dalam ayatnya, pasalnya, dan/atau bagian undang-undang lainnya. Sebutan untuk orang atau badan hukum yang mengajukan permohonan uji materiil adalah pemohon. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kamu semua dapat menjadi pemohon selama kamu adalah seorang WNI dan/atau jika kamu merupakan bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Selain itu, permohonan juga dapat diajukan oleh badan hukum baik itu publik maupun privat atau lembaga negara. Caranya gimana? Langkah awal dalam mengajukan permohonan judicial review yakni pemohon harus membuat permohonan yang diajukan ke kepaniteraan MK yang berisi uraian jelas tentang hak apa yang dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Susah ngga sih beracara di MK itu? Sebenernya ngga susah kok, kalau kamu tidak berlatarbelakang hukum, kamu bisa memberikan kuasa ke advokat spesialisasi konstitusi dan mereka akan menjadi Kuasa Pemohon. Kalau kamu berlatarbelakang hukum, kamu hanya perlu mempelajari hukum acara konstitusi aja. Kamu bisa mempelajari bagaimana cara membuat permohonan uji materiil yang baik dengan uraian yang jelas sehingga nantinya permohonan mu itu dikabulkan oleh hakim MK. Jangan lupa sebelumnya untuk mempersiapkan materi-materi yang akan menjadi argumentasi mu dalam membuat permohonan.

Namun sayangnya, memang ada beberapa hambatan yang akan kamu hadapi, salah satunya adalah langkanya bahan bacaan dan pelatihan yang mengulas tentang hukum acara konstitusi. Kalaupun ada bahan bacaan, itu hanya mengulas teori saja tapi kurang membahas praktik nya secara kongkrit. Selain itu, advokat yang ahli dalam bidang konstitusi juga masih belum banyak sehingga akses masyarakat untuk mempelajari hukum acara MK akan sedikit terhambat. Ditambah lagi, hukum acara MK itu mempunyai corak dan tata cara beracara yang berbeda dibandingkan dengan hukum acara di pengadilan lain. Sistem pembuktian dan ragam bentuk alat bukti, serta proses pemeriksaan pengujian undang-undang nya mempunyai pengaturan dan penerapan tersendiri yang berbeda apabila dbandingkan dengan hukum acara pidana dan perdata. Tapi ngga perlu takut, banyak kok pelatihan-pelatihan yang mengulas tentang bagaimana cara beracara di MK terutama cara mengajukan judicial review yang bisa diikuti orang hukum maupun non hukum. Asal ada kemauan yang tinggi dalam mempelajarinya, maka saya yakin kamu pun bisa menguasai hukum acara di MK terutama judicial review dalam rangka memperjuangkan hak konstitusi mu itu.

Tak banyak yang tahu memang, dengan menjadi pemantik suatu uji materiil undang-undang terhadap UUD NRI 1945, kamu tidak hanya memperjuangkan hak konstitusi mu saja, tapi juga hak konstitusi seluruh masyarakat Indonesia. Gimana bisa? Contoh nih, tahu kasus Machicha Mochtar kan? Jadi, Machicha Mochtar ini adalah penyanyi dangdut yang menikah siri dengan mantan Mensesneg Moerdiono dan buah dari pernikahan itu lahir seorang anak laki-laki. Namun, baru 5 tahun menikah, mereka memutuskan untuk berpisah. Setelah itu, Machicha hanya sendirian membesarkan dan menafkahi anaknya dan anaknya ini tidak diakui oleh keluarga besar Moerdiono. Merasa hak konstitusi nya dirugikan dengan berlakunya UU Perkawinan, Machicha mengajukan judicial review ke MK untuk menguji pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut. Pasal itu mengatur anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga si ibu. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, akhirnya Majelis hakim MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materi Machicha. Dengan begitu, seluruh anak Indonesia memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa anak lahir di luar hubungan pernikahan atau di luar hubungan resmi tetap memiliki hubungan dengan ayahnya. Setelah adanya putusan ini, wanita bisa menuntut pria yang menghamilinya untuk memberi nafkah sang anak. Tentu saja, hal ini merupakan kabar bahagia untuk wanita Indonesia supaya pria-pria diluar sana tidak seenaknya menghamili wanita tanpa tahu konsekuensinya.

Kebayang kan gimana senengnya menjadi pemantik reformasi hukum bagi negara ini? Kamu bisa memberikan angin surga bagi masyarakat Indonesia yang selama ini hak nya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Jadi untuk kalian semua, jangan pernah takut untuk memperjuangkan hak konstitusi mu dengan cara judicial review di MK ya!

Sumber Gambar

Tantangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Secara normative Indonesia telah memiliki instrumen dan mekanisme hak asasi manusia yang sangat sangat lengkap. UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis, dan berbagai instrumen hak asasi manusia yang telah diratifikasi. Dan hal ini menunjukkan besarnya komitmen bangsa Indonesia di dalam memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negara Indonesia. Demikian juga dengan kelembagaan yang berfungsi untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia. Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Yudisial, Ombudsman merupakan lembaga-lembaga negara independen yang bertanggungjawab dalam, salah satunya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia

Read More

Diam ku hanya sanggup terdiam
Di saat kau menghilang menyimpan seribu kenangan
Terisak-isak suara tangisku
Melawan kenyataan, habis upayaku

Senyuman terakhir itu
Pecahkan saraf sadarku

Per 31 Desember 2016 kemarin, genap saya memimpin ICJR selama 6 tahun atau dua periode berturut turut. Perjalanan panjang yang tidak mudah serta dipenuhi beragam tantangan yang tidak kecil. Selama 3 tahun terakhir, saya memang lebih banyak diam dan mengamati perkembangan organisasi ini. Menjadi pengamat yang lebih banyak diam adalah suatu peran yang semestinya diperankan oleh seorang yang ditugasi menjadi sekedar simbol

ICJR didirikan pada 2007 dan berdiri sebagai Persekutuan Perdata, dan saya bukanlah salah seorang pendirinya. Persinggungan saya dengan organisasi ini bermula dari 2009 saat saya diminta untuk membuat situs bagi organisasi ini. Untuk urusan membuat situs yang tidak rumit, saya masih bisa melakukannya. Saya lalu membuatkan situs sederhana bagi organisasi ini dengan joomla dan lalu bermigrasi dan berganti ke wordpress. Suatu persinggungan yang sama sekali tidak penting dan non ideologis

Read More